Tinggalkan Puasa Bertahun-Tahun, Bagaimana Menggantinya?

- April 27, 2020
Pertanyaan:

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Selama sepuluh tahun terakhir saya tidak melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, tepatnya sejak saya berusia 30 tahun. Sebenarnya saya tidak sakit, namun tidak pula mengingkari kewajiban puasa Ramadhan, apalagi menentangnya.

Bahkan, saya mengakui bahwa puasa Ramadhan adalah kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap individu muslim yang sehat, balig, dan berakal.

Saya juga mengakui bahwa puasa Ramadhan adalah rukun Islam keempat. Saya tidak berpuasa karena kondisi psikologis saya yang lemah dan nafsu yang menggoda.

Alhamdulillah, tahun ini saya mulai berpuasa di bulan Ramadhan. Pertanyaan yang ingin saya sampaikan adalah bagaimana utang puasa selama sepuluh tahun yang lalu?

Apakah saya harus mengganti (qadha) sepuluh puasa Ramadhan tersebut (300 hari), ditambah satu bulan untuk setiap tahunnya (300 hari), sehingga berjumlah 600 hari? Terus terang, ini berat bagi saya.

Jika tidak demikian, apakah saya harus membayar fidyah untuk mengganti puasa Ramadhan sepuluh tahun itu. Atau apakah saya harus berpuasa 60 puluh hari untuk setiap 1 hari puasa yang ditinggalkan dengan hitungan total 60 hari x 30 hari x 10 Ramadhan = 18.000 hari.

Hal ini mengingat kafarat (denda) untuk satu hari puasa yang sengaja ditinggalkan karena alasan yang tidak dibenarkan sama dengan kafarat Zihar, seperti yang pernah saya baca dalam fatwa Syaikh Al-Azhar Almarhum Sayyid Thanthawi.

Untuk diketahui, saya tidak pernah meniggalkan shalat atau kewajiban apa pun selama sepuluh tahun itu sampai sekarang.

Mohon penjelasan Syaikh tentang cara saya memperbaiki kesalahan itu.

Jawaban:

Syaikh Prof. Dr. Yusuf Al-Qaradawi, ulama kelahiran Mesir yang saat ini berdomisili di Qatar menjawab pertanyaan tersebut dalam laman pribadinya.

Bismillah, wal hamdulillah, wash shalatu wassalamu ala Rasulillah

Dengan menyebut nama Allah dan segala puji hanya milik Allah. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Siapa pun yang sengaja tidak berpuasa di bulan Ramadhan, tidak ada kafarat baginya, tetapi dia harus mengganti hari-hari yang ditinggalkan itu sebagai sikap bertobat kepada Allah dan membersihkan diri dari dosa besar.

Kafarat wajib bagi mereka yang telah berniat untuk berpuasa, lalu merusaknya dengan berhubungan badan bersama istrinya pada siang hari Ramadhan.

Hal ini tidak berarti bahwa siapa pun yang berani tidak berpuasa di bulan Ramadhan punya dosa yang lebih ringan ketimbang orang yang telah berniat puasa pada malam hari, kemudian merasa lemah pada siang harinya, lalu tergoda oleh nafsunya, sehingga membuatnya membatalkan puasa.

Analoginya seperti orang yang bersumpah untuk tidak melakukan sesuatu, ia bisa membayar kafat sumpahnya, lalu melakukan sesuatu yang ia sebutkan dalam sumpahnya itu.

Adapun siapa saja yang bersumpah palsu atas nama Allah, maka kafarat sumpah tidak berlaku baginya dan tidak disyariatkan membayarnya.

Perbuatan sengaja tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan sengaja bersumpah palsu dengan nama Allah adalah dua dosa besar yang tidak bisa dihapus dengan perbuatan baik dan tidak bisa ditebus dengan kafarat. Jalan keluarnya hanya bertobat kepada Allah Ta’ala untuk menghapus dosa-dosa tersebut.

Saya (Al-Qaradhawi) tidak akan menyalahkan saudara penanya atas kelalaiannya dalam menjalankan kewajiban terhadap Allah dan meninggalkan kewajiban puasa Ramadhan, yang merupakan salah satu hukum Islam terbesar selama sepuluh tahun terakhir.

Cukup bagi saudara untuk menegur diri sendiri, merasakan penderitaan batin dan siksaan hati nurani atas semua hal yang telah terjadi.

Alhamdulillah, sekarang saudara penanya sudah sadar setelah bertahun-tahun dikuasai oleh nafsu yang menyuruh kepada kejahatan.

Fenomena aneh yang kita lihat sekarang adalah banyak kaum muslim laki-laki dan perempuan yang menjalankan puasa Ramadhan, tetapi sayangnya mereka meninggalkan shalat yang merupakan kewajiban terbesar dalam agama Islam setelah mengucapkan dua kalimat syahadat.

Baca juga: Puasa Tapi Tak Shalat, Apa Hukumnya?

Tidak ada yang berani melanggar kesucian Ramadhan dengan sengaja tidak berpuasa pada siang harinya kecuali para pendosa. Semoga Allah melindungi kita darinya.

Hal yang berbeda terdapat dalam diri saudara penanya. Ia selalu menjaga shalat lima waktu akan tetapi meninggalkan ibadah puasa Ramadhan, kewajiban yang Allah Ta’ala tetapkan selama satu bulan setiap tahunnya.

Tujuan puasa adalah mempersiapkan jiwa manusia untuk senantiasa bertakwa kepada Allah Ta’ala, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya,

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183).

Selama saudara penanya mengaku tidak mengingkari dan menolak kewajiban puasa di bulan Ramadhan, bahkan membenarkan bahwa puasa itu wajib bagi setiap muslim yang balig dan berakal serta tidak ada halangan untuk melakukannya, serta puasa adalah rukun Islam keempat, dan ia rajin melakukan shalat selama 10 tahun itu, maka kita tidak bisa mengatakan dia harus mengucapkan syahadat lagi sebagai syarat untuk masuk Islam, yang mana Islam menghapus semua dosa sebelumnya.

Kita juga tidak bisa mengatakan dirinya kafir lalu mesti masuk Islam dan mendapatkan petunjuk. Allah Ta’ala berfirman,

“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu (Abu Sufyan dan kawan-kawannya), “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu.” (QS. Al-Anfal: 38).

Baca juga: Hukum Membaca Mushaf Ketika Mengimami Shalat

Semua indikasi menjelaskan bahwa ia adalah seorang muslim yang tidak taat beragama, melalaikan kewajibannya terhadap Allah Ta’ala, melanggar perintah-Nya, serta meninggalkan salah satu kewajiban yang paling agung dan salah satu rukun terbesar dalam agamanya.

Puasa Ramadhan yang ditinggalkan selama 10 tahun terakhir adalah utang yang harus dia tunaikan, layaknya utang yang mesti dibayar seseorang, baik kepada Allah atau kepada manusia. Dalam hadits shahih disebutkan,

“Utang kepada Allah lebih utama untuk ditunaikan.” (HR. Al-Bukhari)

Dengan berlalunya 10 tahun itu, tidak membuat hak Allah atas hamba-Nya gugur. Sebab, dalam syariat Islam, waktu yang berjalan tidak menggugurkan hak-hak manusia dan hak-hak Allah atas seorang hamba. Hak itu sudah menjadi utang baginya sampai dia tunaikan, ditunaikan keluarganya, atau dituntut pada Hari Kiamat kelak.

Dalam kasus ini, utang yang wajib ditunaikan adalah mengganti hari yang ditinggalkan sesuai dengan perhitungannya yaitu 300 hari untuk puasa Ramadhan dalam 10 tahun tersebut. Bukan 60 hari untuk menggantikan satu hari yang ditinggalkan, seperti yang dikatakan saudara penanya dengan hitungan 60 x 30 x 10 = 18.000 hari.

Pendapat seperti itu barangkali diutarakan atau digambarkan sebagian orang atas dasar bahwa siapa pun yang sengaja berbuka puasa di hari siang Ramadhan -dengan melakukan hubungan suami istri menurut beberapa mazhab atau makan dan minum menurut mazhab yang lain - harus menebusnya dengan membayar kafarat yang berat untuk hari-hari yang ditinggalkan.

Kafaratnya berupa memerdekakan budak, puasa selama dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang miskin. Ketiga opsi itu dipilih berdasarkan urutan menurut sebagian ulama atau tidak mesti berurutan menurut ulama yang lain.

Kita katakan, tiga opsi kafarat itu berlaku bagi orang yang telah berpuasa namun sengaja membatalkan puasanya pada siang hari Ramadhan. Kafarat itu untuk membersihkan dosanya. 

Adapun orang yang tidak berpuasa sama sekali, kafarat tidak berlaku baginya.

Seperti yang telah disinggung tadi, sumpah yang telah diucapkan seseorang, lalu dilanggar, maka wajib untuk dibayar kafaratnya.

Adapun sumpah palsu yang mana seseorang sengaja mengucapkannya, tidak ada kafarat baginya. Kewajibannya adalah bertaubat kepada Allah Ta’ala.

Demikian juga halnya dengan pembunuhan tak sengaja yang mana kafarat berlaku padanya. Adapun dalam kasus pembunuhan yang disengaja, tidak ada kafarat, melainkan tobat dengan beberapa ketentuan yang berlaku dalam syariat Islam.

Pintu pertobatan terbuka bagi manusia atas setiap dosa kecil atau besar, baik dalam bentuk meninggalkan perintah atau melakukan larangan.

Akan tetapi, pertobatan dinilai tidak benar dan tidak diterima kecuali jika disertai dengan memenuhi hak-hak Allah dan hak-hak manusia. Ini adalah syarat yang diperlukan agar pertobatan diterima Allah Ta’ala.

Adapun membayar fidyah atas hari-hari puasa yang ditinggalkan dengan memberi makan orang miskin tidak diterima kecuali bagi mereka yang tidak dapat berpuasa sama sekali. Karena tidak sanggup berpuasa, maka mereka juga tidak dituntut untuk mengganti puasanya (qadha).

Namun, bagi mereka yang sanggup berpuasa tapi tidak menjalankannya, maka kewajibannya adalah mengganti puasa.

Jika saudara penanya merasa berat untuk mengganti puasanya pada hari-hari biasa, saya sarankan untuk berpuasa pada musim dingin, karena siangnya singkat dan hawanya dingin. Banyak kaum muslimin yang melakukan puasa sunnah pada musim dingin.

Seperti dikatakan dalam peribahasa Arab, “Musim dingin adalah musim semi bagi orang-orang beriman. Karena siangnya singkat, maka mereka berpuasa. Karena malamnya panjang, maka mereka mengisinya dengan beribadah.”

Saudara penanya dapat memutuskan untuk berpuasa setiap tahun pada musim dingin selama tiga bulan berturut-turut. Saya pastikan kepadanya, bahwa berpuasa terus-menerus akan membuatnya mudah untuk melakukannya. Ia tidak akan merasa berat atau sulit menjalankannya.

Apalagi, saudara kita ini mempunyai kesadaran telah melakukan banyak kekurangan pada masa lalunya, sehingga dia berusaha menjalankan ajaran agamanya dengan baik, melakukan perbuatan yang diridhai Tuhannya, meningkatkan pertobatannya dan memutihkan lembaran hidupnya.

Saya berdoa kepada Allah Ta’ala agar memperkuat tekadnya, memberinya petunjuk, dan menurunkan pertolongan baginya dalam menjalankan syariat agama. Sesungguhnya Allah Maha Mendengarkan doa. Wallahu A’lam.

Semoga bermanfaat. Aamiin.

[Abu Syafiq/Fimadani]
Advertisement


EmoticonEmoticon

 

Start typing and press Enter to search